BAB I
PENDAHULUAN
Studi
tentang Filsafat Umum tentunya banyak sekali cabang-cabang kajian di dalamnya
yang mencakup sagala aspekyang ada di kehidupan kita salah satu cabang ilmu
filsafat umum adalah Metafisika dan Aksiologi yang akan dibahas dalam makalah
kelompok kami ini. Disini kami mencoba mengkaji lebih dalam lagi tentang
Metafisika dan Aksiologi menurut para-para ahli terkemuka dari para
filosof-filosof dunia, tentunya juga kami mengambil difinisi-definisi ini dari
Ensyclopedia yang sekaligus mencakup sedikit penjelasan mendalam tentang Metafisika
dan Aksiologi tersebut.
Pada
perinsipnya dalam makalah kami ini akan membahas tentang bagaimana kualitas
cara berfikir manusia menurut ilmu filsafat dan metode-metode apa saja yang
akan di pakai oleh umat manusia dalam berpikir secara filsafat tentunya dengan
menggunakan metode-metode dari pembelajaran makalah kami ini yaitu Metafisika
dan Aksiologi sehingga dapat dan mampu memberikan sebuah realitas yang
dijangkau oleh persepsi dan pikiran kita. Disamping itu juga kami menampilkan
beberapa perbedaan pendapat antar pemikir-pemikir atau filsuf mengenai metafisika
dan aksiologi.
Terkhusus
bagi ilmu aksiologi dalam ilmu ini tentu terdapat beberapa teori yang
memaparkan tentang permasalahan utama mengenai subtansi nilai yang banyak
mengacu pada permasalahan-permasalahan etika dan estetika. Tapi dalam
pembahasan makalah ini kami membuat dasar-dasar dari katagori aksiologi dan
memberikan beberapa pendekatan-pendekatan dalam menjangkau etika tadi agar kita
sampai pada sebuah kebenaran yang membuat kita lebih yakin pada sebuah disiplin
ilmu pengetahuan.
BAB II
METAFISIKA DAN AKSIOLOGI
A. Metafisika
Apakah metafisika itu mungkin ? jawaban atas
pertanyaan ini negatif
tidak mungkin. Alasan-alasannya di dasarkan atas cirri-ciri yang agak ganjil
bagi pengetauhan kita. pengetauhan itu di tentukan oleh ruang dan waktu . karna
dunia itu terdiri dari dua faktor,
yakni benda-benda dan perubahannya. Jadi ruang dan waktu bukanlah realitas
objektif. Ruang
dan waktu hanyalah pemahamman kita atas realitas. Itu berarti bahwa ruang dan
waktu itu subjektif. Metafisika, jika ia adalah usaha untuk memahami realitas
terakhir, yakni noumena, adalah mustahil konklusi Kant, lalu adalah ”Menarik diri” dari
masalah-masalah metafisika.
Jadi ruang adalah suatu ”Penampakan yang
dinamis”. Sebuah usaha
memunculkan tesis ini juga oleh Ilraqi, menurutnya ada tiga jenis ruang-ruang
benda-benda materi, ruang wujud-wujud immateri, dan ruang Tuhan. Instuisi masuk dalam
diri kita sebagai sebuah realitas yang dijangkau bukan oleh persepsi dan
pikiran. Berikut ini adalah ciri-cirinya:
1. Metafisika adalah suatu
pengalaman singkat (immediate experience) tentang yang nyata. Pengalaman singkat
ini bentuknya menyerupai persepsi. Realitas mutlak dan pngalaman melalui
instuisi dapat di pahami secara langsung.
2. Metafisika adalah milik khas hati. Ia
bukan milik akal atau intelek. Akal atau intelek hanya menjangkau dunia
fenomena,yakni aspek realitas yang
tampak dalam persepsi indrawi. Hati membawa kita berhubungan dengan aspek realitas,
bukan membuka persepsi indrawi.
3. Metafisika adalah keseluruhan
yang tak teranalisa.di dalam intuisi itu adalah keseluruhan realitas yang
berada dalam satu kesatuan yang tak terbagi.
4.
Selanjutnya, melalui
intuisi, ”kesatuan
yang tak terurai” ini menyatakan diri sebagai sebuah diri yang unik. Diri
yang unik ini bersifat transenden dari diri kita. ia seperti sesuatu “di atas
sana“ yang selalu di luar jangkauan kita.
5.
Kegiatan intuisi, karna
ia menerima realitas sebagai keseluruhan,memunculkan arti bahwa “waktu
serial” adalah tidak nyata. Intuisi pada
dasarnya berarti “simpati intelektual” tetapi simpati semata, dengan kata tegas
, bukanlah intuisi.simpati tidak membantu kita dalam mencapai intuisi
iabukanlah intuisi itu sendiri. Intuisi adalah “persepsi langsung” atas
realitas.
Filsafat iqbal titik tekannya adalah filsafat diri.
Diri merupakan awal sekaligus masalah dasar pemikiran iqbal. Dirilah yang
memberi iqbal jalan menuju metafisik karna menurut iqbal intuisi diri yang
membuat metafisik mungkin. Iqbal
selalu menaruh perhatian akan akibat berbahaya dari pemikiran panteisme, karna dia sendiri
pernah terpenggaruh oleh pemikiran tersebut di masa-masa awal pemikirannya.
Argumennya melawan panteisme dapat di rangkum menjadi dua alasan : Pertama,
Data indra dan tingkat persepsi pemikiran tidak dapat dianggap sebagai sesuatu
yang tidak nyata. Kedua kekuatan pemikiran yang kokoh tersebut
dari gurunnya Mctaggart yang menganggap realitas sebagai spirit.[1]
Diri
adalah sebuah substansi yang tinggal tak terbagi dan kekal.
Pengalaman-pengalaman selalu datang dan pergi tetapi substansi jiwa masih tetap
sama selamanya. Tetapi definisi diri tersebut tidak memberikan kita petunjuk
pada hakikatnya. Pertama diri merupakan entitas metafisik dan ia
diasumsikan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman kita. kedua, kesatuan
pengalaman yang didasarkan pada substansi jiwa secara sederhana tidak
membuktikan ketidak terbagiannya maupun keabadiannya. Ketiga,
teori tidak dapat menjelaskan fenomena psikologis dari kepribadian ganda. Jadi
pemikir metafisik tidak menunjukan apa
pun juga tidak menunjukan hakikat diri.
Jika
pemikiran dan tindakan secara kausalitas di tentukan,kita menunjuk pada dua
kesimpulan, pertama bahwa proses
pemikiran bukan proses keputusan, keputusan tidak benar maupun salah. Tidak
juga ada pemikiran dan filsafat baru di muka bumi, seluruh pemikiran kita
semata-mata di tentukan oleh pemikiran-pemikiran dan filsafat sebelumnya. Kedua,
tindakan manusia, karna diatur dan ditantukan bagaimanapun juga tak dapat di benarkan
untuk menuntut darinya standar-standar
moralnya dan untuk memaksakan keputusan social dan politik. Dunia materi dunia luar itu ada. Ia
ada dan nyata. Pandangan kita memperlihatkan realitas,sebuah realitas yang
tidak dapat disangkal. Para ahli fisika berdasarkan pada penyidikan dari
eksperimennya menyatakan bahwa hakikatnya adalah material. Materi itu terbuat
dari bahan kecil, keras dan padat yang berada di dalam kehampaan yang di sebut
ruang.substansi tersebut adalah atom-kecil, entitas fisik yang tak dapat
dimasuki dan tidak dapat dibagi.benda-benda merupakan kumpulan dari atom-atom.
Atom tak dapat di lihat tapi benar-benar ada. Dan selain atom bersifat tidak
kekal Yang mutlak atau tuhan.
Alam
semesta, adalah bagian dari sifat sebuah kehendak kreatif yang bebas. Kehendak merupakan
dasar dari semua realitas. Ia pecah dan menggelembung dalam fenomena. Ia
mewujudkan dirinya dalam segala realitas. Tak ada kekuatan dan dorongan dari
belakang kehendak. Ia tidak tunduk pada hukum kekuatan apa pun karna kalau
demikian ia menjadi tidak kreatif sama sekali.[2]
Masalah
yang muncul adalah apa hubungan antara Ego tertinggi dengan Ego
terbatas.hubungan ini dapat di gambarkan dengan tiga cara
1. Ego
tertinggi adalah realitas satu-satunya dan ego-ego terbatas terserap kedalamnya.ia
tak mempunyai eksistensi yang terpisah dari Ego tertinggi dimana ia sendiri
yang nyata.
2. Ego
tertinggi menarik ego-ego terbatas kedalam dirinya tanpa menghilangkan
keberadaanya.
3. Ego
tertinggi mungkin bis dianggap terpisah dan mengatasi ego-ego terbatas.
Sikap yang pertama menghubungkan kepribadian dan
keegoan dengan realitas tertinggi . hal tersebut sebuah kemajuan positif atas
bentuk-bentuk pemikiran panteistis yang menganggap sifat Realitas Tertinggi
sebagai sebuah karakter impersonal seperti cahaya, kekuatan, hidup, kehendak, pemikiran,
akal dan lain-lain.
B.
Aksiologi
1.
Pengertian
Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan
logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri
(1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang
nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai
sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang
baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis.[3]
Menurut Bramel
Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral
Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan
keindahan
3.
Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.
Dalam
Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and
valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih
sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih
luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah
nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi
nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan
utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.[4]
2.
Kategori Dasar
Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya
sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap
sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai
intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai
alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini
berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk
mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu
perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif.
Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku.
Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam
hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi
atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut
melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual
atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka
janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari
manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta
bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa
itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan
sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau
peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya
diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang
dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan ,
dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing
perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana
keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum
hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran
sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini
memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini
yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian
penting dari tindakan manusia.[5]
BAB III
KESIMPULAN
Metafisika
adalah milik khas hati. Ia bukan milik akal atau
intelek. Akal atau intelek hanya menjangkau dunia fenomena, yakni aspek realitas yang tampak dalam persepsi
indrawi. Hati membawa kita berhubungan dengan aspek realitas, bukan membuka persepsi
indrawi, banyak yang menjabarkan tentang metafika itu sendiri,
tentu pemahaman yang banyak ini lebih bisa membuat kita untuk menyeleksi mana
yang lebih sepemahaman dengan kita dalam memehami arti dan maksud dari
metafisika, dan jika pemikiran dan tindakan secara kuasalitas ditentukan kita
mengacu pada dua kesimpulan pertama:
bahwa proses pemikiran bukan proses keputusan,
keputusan tidak benar maupun salah, kedua tindakan
manusia, karna diatur dan ditantukan bagaimanapun juga tak dapat di benarkan untuk
menuntut darinyastandar-standar moralnya dan untuk memaksakan keputusan social
dan politik. Dunia
materi dunia luar itu ada. Ia
ada dan nyata.
Sedagkan aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang
nilai-nilai khususnya etika. Jadi mempelajari metafisika dan
aksiologi ini dapat kita dapat membuka persepsi tentang duniawi dan nilai-nilai
dalam kehidupan khusunya nilai etika dalam berkehidupan. Dan jika aksiologi
dipandang bagian dari pada filsafat maka ia menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan
tujuan. Terdapat dua katagori dasar aksiologi pertama objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang
dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai dan subjectivism, yaitu
penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi
(perasaan).
Daftar Pustaka
Enver Hasan Ishrat,
2004, Metafisika Iqbal, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka,
S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah
pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan.
Jakarta : Rineka Cipta.
[4] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan: 1996)h. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar